Jumat, 15 Juni 2012

sufistik Ibnu Arabi



Filsafat Sufistik Ibn ‘Arabi[*]


aku ini adalah diriMu
cinta ini adalah cintaMu
aku ini adalah diriMu
jiwa ini adalah jiwaMu
rindu ini adalah rinduMu
darah ini adalah darahMu
tak ada yang lain selain diriMu
yang selalu ku puja
ku sebut namaMu di setiap hembusan nafasku
ku sebut namaMu, ku sebut namaMu
dengan tanganMu aku menyentuh
dengan kakiMu aku berjalan
dengan mataMu aku memandang
dengan telingaMu aku mendengar
dengan lidahMu aku bicara
dengan hatiMu aku merasa
(Satu by Dewa 19)
I
Membedah pemikiran Ibn Arabi, kita seyogyanya menguraikan pengantar menuju ke sana. Pengantar itu berupa gambaran tasawuf secara umum yang terkait dengan sejarah tumbuhnya, klasifikasi, corak, serta interaksinya sebagai pemikiran dan spiritualitas. Dari klasifikasi tersebut akan didapat beberapa corak yang berdasar sudut pandang masing-masing. Namun secara umum akan didapat klasifikasi tasawuf sunni dan tasawuf falsafi. Dan pemikiran Ibn ‘Arabi masuk dalam tasawuf falsafi. Karena keterbatasan ruang dan waktu, tulisan ini tak akan menyebut detil-detil pinggiran itu. Tapi akan langsung masuk pada tujuan awal diatas yang bisa disebut sebagai filsafat sufistik Ibn ‘Arabi.
Dikatakan pemikiran sufistik, untuk membedakannya dari kecenderungan filosofis murni yang hanya bersandar pada akal semata unuk mengenal hakekat segala sesuatu. Justru Ibn ‘Arabi menolak akal sebagai dasar untuk itu dan menggantinya dengan dzauq ruhiyyah yang memiliki potensi untuk itu. Hal itu didasarkan pada pandangannya dalam al-Futûhât al-Makkiyyah  bahwa akal itu sempit, terlalu sempit untuk dapat mengenal hakekat segala sesuatu. Hakekat segala sesuatu yang maha luas dan Tuhan Yang Maha Mutlak tak bisa dicapai dan dikenali kecuali oleh ruh yang mutlak.
Tapi benarkah Ibn ‘Arabi menolak akal mentah-mentah?
Dari puluhan, bahkan ratusan, kitab yang ditulis, justru menunjukkan sebaliknya. Apalagi kalau kita memperhatikan alasan-alasan orientalis tentang keterpengaruhan tasawuf falsafi dengan Neo-Platonisme, ajaran Hindu, ajaran Budha, ajaran Persia dan seterusnya, dengan jelas sekali Ibn ‘Arabi bukanlah sufi yang bego akal. Ia sangat jenius akal dan spiritual. Louis Massiqnoun pernah mengatai, ajaran Ibn ‘Arabi hanya bersandar satu-satunya pada dzauq. Banyak orientalis menyepakatinya. Tapi Miguel Asín Palacios dalam Ibn ‘Arabi Hayâtuhu wa Madzhabuhu, sebuah kitab yang diterjemahkan oleh Abdurrahaman Badawi dari bahasa Spanyol, membantah tuduhan itu. Benar bila Ibn ‘Arabi sangat berpegang pada dzauq dalam ritual pencapaian hakekat, tapi akal juga berperan terutama dalam mengekspresikan apa yang telah dicapai oleh dzauq. Akal adalah alat ekspresi dialektik. Sebagai alat ekspresi dialektik, tentunya akal akan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural masing-masing.
Landasan dzauq yang dibalut akal inilah modal yang cukup untuk kita memahami Wahdah al-Wujûd. Saya katakan modal, untuk menepis keraguan sebagian orientalis yang meragukan sisi nalar Ibn ‘Arabi.
Memang sudah sejak lama banyak orientalis tak sepakat mengangkat Ibn ‘Arabi sebagai seorang filosof. Mereka hanya menempatkannya pada jajaran para sufi yang tak memiliki padangan filosofis yang komprehensif, karena tak bersandarkan pada akal yang berpotensi untuk itu. Tapi keraguan semacam itu ditepis habis oleh Abu al-‘Ala ‘Afifi dalam risalah doktoralnya di Cambridge University pada tahun 1930, The Mystical Philosophy of Muhyiddin Ibn ‘Arabi, yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Arab oleh Mushthafa Labib ‘Abdul Ghani dan diterbitkan oleh Percetakan Kairo Dâr al-Kutub wa al-Watsâ`iq al-Qaumiyyah. Risalah ini sangat menggegerkan bukan hanya karena ia muncul di tengah-tengah negara para orientalis, tapi juga karena berhasil membuktikan kesalahan banyak orientalis: ternyata Ibn ‘Arabi punya padangan filosofis-sufistik dalam kategori besar ajaran Wahdah al-Wujûd. Alasan yang diajukan ‘Afifi sangat logis: Ibn ‘Arabi memiliki pandangan filosofis yang mencakup ontologi, logos, epistemologi, psikologi, dan etika-estetika. Bila kaedah umum orientalis mengatakan bahwa para sufi tak punya pandangan filosofis yang komprehensif, maka untuk kasus Ibn ‘Arabi terkecualikan.
II
Tapi bagaimana dengan kritikan Ibn Taimiyyah? Kita tahu bahwa ulama ahli hadits ini termasuk ulama yang sangat terkenal dan diikuti banyak orang dalam hal mengkritik para sufi. Sasaran kritiknya adalah mana-mana yang secara lahir bertentangan dengan lahir Quran dan Sunnah. Secara lahir… ya, karena seringkali Ibn Taimiyyah tak memperhatikan sisi batin ketika para sufi mengucapkan kata-kata yang mengandung paham ittihâd, hulûl, apalagi wahdah al-wujûd. Syeikh Mahmud Mahmud al-Ghurab, dalam karyanya al-Radd ‘ala Ibn Taimiyyah min kalâm al-Syaikh Muhyiddin Ibn ‘Arabi, menyindirnya bahwa tak semua orang yang memahami perkataan itu memahami yang berkata, tapi semua yang memahami yang berkata ia pasti memahami perkataan. Seperti itulah Ibn Taimiyyah terhadap Ibn ‘Arabi.
Ibn Taimiyyah tak mengenal Ibn ‘Arabi sebagai ulama ahli ihsân ketika mengeluarkan kata-kata berbau wahdah al-wujûd. Padahal suatu kesalahan besar menuduh orang ketika ia bukan se-maqam dengannya. Ibarat seorang A yang menyangka teman B adalah tipe cowok bajingan hanya karena dalam catatan chating-annya main olok dengan cewek C: A tak mengerti betapa kedekatan antara B dan C sangat tinggi, main olok hanyalah bagian dari permainan dua sejoli yang sedang kasmaran.
Tapi mungkin Ibn Taimiyyah hanya hendak menghalangi orang awam membaca karya-karya Ibn ‘Arabi secara langsung. Syaikh Mahmud Mahmud al-Ghurab dalam satu kesempatan wawancara penulis bersama beliau pernah berkata, “Mayoritas ulama yang mengkafirkan Ibn ‘Arabi itu lantaran kasihan pada orang awam.”
Tapi al-Radd ‘ala Ibn Taimiyyah min kalâm al-Syaikh Muhyiddin Ibn ‘Arabi juga menyebutkan data-data penguat kesalahan Ibn Taimiyyah. Hal yang mendasar baginya: Ibn Taimiyyah tak cukup serius membaca seluruh karya Ibn ‘Arabi sebelum mengatainya memiliki jiwa setan. Ibn ‘Arabi dikatai mencela Syaikh al-Junaid al-Baghdadi, sayyid al-Thâ`ifah al-Shufyyah. Padahal dalam banyak karya Ibn ‘Arabi memuji Syaikh al-Junaid, seperti Rûh al-Quds, al-Futûhât al-Makkiyyah… Kalaupun benar Ibn ‘Arabi mengkritik al-Junaid, itu tak bsa dibuat argumen menghina, karena betapa banyak ulama dan masyayikh yang mengkritk satu sama lain. Budaya mengkritik ilmiah bukanlah kehinaan.
Syaikh al-Ghurab menduga adanya pemalsuan dan penyelundupan atas sebagian teks karya-karya Ibn ‘Arabi. Bahkan sejak era skolastik Islam. Itu terbukti bahwa Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dalam Madârij al-Sâlikîn mengutip Ibn ‘Arabi yang bersenandung:
العبد رب والرب عبد   #  ياليت شعرى من المكلف
ان قلت عبد فذاك رب   #      أو قلت رب أني يكلف
Dua bait syair ini dilacak Syaikh al-Ghurab terdapat dalam empat karya Ibn ‘Arabi, Mawâqi’ al-Nujûm, al-Tanazzulât al-Mûshiliyyah, Kitâb al-Masâ`il, dan halaman pertama al-Futûhât al-Makkiyyah, tetapi dengan redaksi yang berbeda:
الرب حق والعبد حق   #  ياليت شعرى من المكلف 
ان قلت عبد فذاك ميت    #     أو قلت رب أني يكلف
Itulah mungkin salah satu alasan Syaikh al-Ghurab menolak Fushûsh al-Hikam yang beredar sekarang termasuk salah satu karya otentik Ibn ‘Arabi. Secara periwayatan dan redaksional, naskah asli karya ini sangat bermasalah.
III
Diatas sedikit disinggung bahwa alasan Abu al-Ala ‘Afifi mendapuk Ibn ‘Arabi termasuk seorang filosof yang punya pandangan komprehensif adalah dilihat dari cakupan ulasan dalam karya-karyanya yang mencakup ontologi, logos, epistemologi, psikologi, dan etika-estetika. Dari kelima cakupan tersebut, yang paling mendasar dan menimbulkan kontroversial adalah pandangan ontologisnya. Ini akan diuraikan secara lebih detil.
Paham wahdah al-wujûd erat kaitannya dengan pandangan ontologis. Ibn ‘Arabi memahami al-wujûd al-muthlaq dengan beragam makna yang tak semuanya jelas dan gamblang. Karenanya, sangat berpotensi disalahartikan. Al-wujûd sendiri dalam analisis Abu al-‘Ala ‘Afifi memiliki dua makna: pertama sebagai sebuah gambaran (forma, al-wujûd, al-tashawwur), kedua sebagai keadaan yang diadakan (al-maujûd). Sementara al-muthlaq memiliki empat makna: pertama sebagai wujud yang tak terbatas forma (bentuk) tertentu, kedua sebagai yang tak terwujud dalam forma apapun, ketiga sebagai wujud yang tak memiliki ‘illat apapun, dan keempat sebagai yang sesuai dengan Hakekat Segala Hakekat.
Hemat penulis, pembedaan itu terkait dengan relativitas Ibn ‘Arabi dalam mengklasifikasikan wujud dalam tataran al-dzât al-muqaddasah, al-ulûhiyyah, dan al-asmâ` dan al-shifât.
Kesimpulan yang bisa ditarik dalam tulisan kali ini: Ibn ‘Arabi terlalu besar untuk diremehkan dengan kata-kata kafir, ateis dan lain sebagainya. Karena meskipun kontroversial, pemikiran Ibn ‘Arabi terbukti telah mengisnpirasikan banyak sekali pemikir ulung di timur dan di barat untuk saling menebar kasih sayang kepada seluruh makhluk dan mengajarkan untuk selalu menghampiri Sang Maha Mutlak, Tuhan Wahdah al-Wujûd, Tuhan seluruh agama secara esensial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar