Sabtu, 23 Juni 2012

renungan sufistik


ISLAM DAN PROBLEM MAKRIFAT

Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya di sisi Allah ialah orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apapun. [1]
ILMU atau hadirnya gambaran sesuatu pada akal adalah makrifat yang karenanya nilai seseorang ditentukan. Islam menempatkan ilmu pengetahuan pada urutan pertama dan terpenting bagi manusia. Banyak sekali riwayat yang menyatakan bahwa nilai seseorang diukur dari ilmu yang dimilikinya.
Di antaranya menyebutkan, “Paling besarnya nilai pada manusia adalah yang paling besar ilmunya di antara mereka, dan paling rendahnya nilai bagi manusia adalah yang paling rendah ilmunya di antara mereka.”[2]
Juga terdapat riwayat dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, “Wahai mukmin, sesungguhnya ilmu dan adab adalah sesuatu yang berharga dan bernilai bagi dirimu. Maka dari itu, berjihadlah engkau dalam mempelajarinya. Setiap kali ilmu dan adabmu bertambah, semakin bertambah pula nilai dan kadar dirimu”[3]
Dalam firmannya, Allah Swt bahkan menggunakan lafal ilmu sebanyak 105 kali dan menyebutkan 770 lafal lainnnya. Bahkan menurut Rasulullah saww, “Ilmu adalah hidup Islam dan tonggak agama.”[4] 
Dalam beberapa sabdanya, Rasulullah memerintahkan dilakukannya empat hal yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan. Kita dapat mengambil hikmah yang sangat berharga perihal ilmu berdasarkan empat sabda Rasul yang terdapat dalam riwayat mulia tersebut.
Keempat sabda tersebut adalah:
1.        Menuntut ilmu adalah wajib bagi mukmin dan mukminah.
2.        Tuntutlah ilmu sejak dalam buaian hingga ke liang lahat.
3.        Ambillah hikmah sekalipun itu datang dari seorang anak kecil.
4.        Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina.
Pertama sekali, Rasul saww memerintahkan umatnya, baik laki-laki maupun perempuan, untuk gigih menuntut ilmu. Dalam hal ini, beliau saww tidak membedakan hak dan kewajiban menuntut ilmu berdasarkan jenis kelamin (gender). Jadi, sungguh tidak beralasan pabila seseorang dicegah ataupun dirinya sendiri enggan menuntut ilmu hanya lantaran dirinya seorang wanita.
Kapankah seseorang mulai bersiap untuk mempelajari sesuatu? Sabda Rasul saww yang kedua menjelaskan bahwa tak ada “kapan” bagi setiap orang dalam menuntut ilmu. Kapan saja seseorang memiliki waktu dan kesempatan, wajib memanfaatkannya untuk menuntut ilmu pengetahuan. Mulai dari buaian hingga ia meninggal dunia, demikian Rasul bersabda.
Dan, dari siapakah kita memanfaatkan ilmu pengetahuan? Rasulullah mengajarkan agar manusia tidak menyombongkan diri di hadapan ilmu pengetahuan, sehingga menutup dirinya dari ilmu hanya dikarenakan itu disampaikan seorang anak kecil. Apabila kita melihat adanya seseorang yang layak untuk kita jadikan tempat bertanya, meskipun dirinya jauh lebih muda dari kita, seyogianya kita tetap bertanya kepadanya. Bahkan dalam riwayat lain, beliau saww bersabda, “Meski hikmah itu keluar dari lisan seorang munafik.” Perlu dicatat bahwa, bukan berarti dengan berilmu, lantas kita mengira ilmu tersebut menjadi milik kita dan menjadi bagian dari diri kita. Tentu saja sikap demikian akan menjadikan keindahan ilmu terpengaruh oleh keburukan kita sehingga merubahnya menjadi buruk dan kotor.
Sabda Rasul saww keempat menyatakan bahwa demi ilmu, kita harus melakukan usaha maksimal walau harus mengembara hingga ke ujung dunia. Artinya, ilmu tidak dibatasi tempat, sebagaimana juga tidak dibatasi waktu, bagi setiap orang yang ingin menuntutnya. Jangan pernah berpikir bahwa ilmu hanya dibatasi dinding ruangan sekolah dan majelis-majelis taklim. Tidak! Bahkan, mempelajari ilmu dapat dilakukan di tengah situasi perang sekalipun.
Pernah dalam hiruk pikuk peperangan, seseorang bertanya kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib perihal makna, “Qul huwallâhu ahad.” Seorang pengikut Imam menegurnya lantaran ia dianggap telah berbuat sesuatu (mengajukan pertanyaan—peny.) yang tidak pada tempatnya. Namun Imam malah mengatakan, “Biarkan ia. Sesungguhnya kita berperang karena hal yang ditanyakannya itu.”
Islam mengecam siapapun yang menutup pintu akalnya lantaran fanatisme atau oleh apapun yang menjadikannya tidak atau enggan berpikir. Dalam firmannya, Allah Swt melarang manusia mengikuti pendapat dan pandangan orang lain sementara dirinya tidak memiliki pengetahuan atau alasan mendasar sesederhana apapun yang menjadikannya dapat secara mandiri membenarkan pendapat selainnya—sekalipun itu adalah ayahnya sendiri.
Allah Swt berfirman:
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.”[5]

Sumber-Sumber Makrifat

                Apabila kita mengarahkan pandangan kita kepada sesuatu, lalu kita berpaling dariny, niscaya pada akal kita akan tercetak gambaran sesuatu yang sebelumnya telah kita lihat itu. Dalam hal ini, kita mengalami perubahan dari keadaan jahil terhadap sesuatu menjadi berilmu. Ilmu kita tentang berbagai gambaran sebagaimana contoh di atas tadi disebut sebagai ilmu inderawi dan sumbernya adalah indera kita sendiri.
Oleh karena itulah, pepatah mengatakan, “Hilangnya indera adalah penyebab hilangnya pengetahuan.” Meskipun lebih tepat pabila kita mengatakan bahwa hilangnya indera adalah hilangnya sebagian ilmu yang berhubungan dengan indera tersebut. Karena sumber atau alat yang menjadikan manusia mendapatkan ilmu, tidak terbatas hanya pada indera semata. Selain indera, terdapat sumber pengetahuan lain, yaitu akal dan hati.

Akal

                Akal adalah, markas pengetahuan yang didapat lewat penggabungan pembagian (penguraian), pengosongan (abstraksi), penyimpulan (konklusi), generalisasi, dan pendalaman.
Penjelasannya begini. Pada akal kita, misalnya, terdapat gambaran tentang gunung dan emas. Meskipun hakikatnya keduanya berbeda, namun akal dapat menggabungkan keduanya menjadi wujud gunung emas.
Atau, gambaran tentang pohon yang tercetak di akal yang kemudian diurai  ke dalam bagian-bagiannya, seperti batang, daun, buah, dan sebagainya.
Juga, gambaran tentang dua sosok manusia, Hasan dan Ali contohnya. Lalu akal mengabaikan segenap perbedaan ciri-ciri keduanya, seperti warna kulit, usia, postur tubuh, dan sebagainya yang khas dimiliki masing-masing. Darinya, tersisa satu pemahaman universal yang menjelaskan hakikat keduanya, yaitu manusia.
Beberapa contoh lainnya; gambaran tentang ketel uap dan mendidihnya air, yang memunculkan gambaran baru bahwa uap merupakan isyarat (alamat) atau tanda mendidihnya air.
Atau, gambaran tentang api yang membakar kertas, kain, daun, atau kayu, sehingga akal menggambarkan bahwa setiap api memiliki sifat membakar.
Atau juga, gambaran tentang perintah wajib menunaikan shalat dan gambaran tentang shalat yang bernilai, menjadikan akal menemukan sebab-sebab yang  menjadikan bernilainya shalat.
                Pengetahuan yang bersumber pada akal tidak terikat pada kondisi tertentu. Ini berbeda dengan ilmu yang bersumber dari hati yang akan kita bahas kemudian. Tatkala tergambar pada akal bahwa makan adalah sesuatu yang dibutuhkan makhluk hidup, bukan berarti pada saat yang sama kita merasa lapar dan ingin makan.
Selain itu, ilmu yang bersumber dari akal selalu bersifat universal. Sekalipun dalam hal ini,  yang kita maksud adalah sesuatu yang parsial sekalipun, tetap tidak merubah universalitas ilmu akal. Terbukti dengan pengenalan kita terhadap seseorang, di mana ilmu kita tentang orang tersebut tidak serta merta hilang dengan meninggalnya orang tersebut.

Hati

                Lafal kalbu (qalb) atau hati selain menunjuk pada bagian organ tubuh manusia, juga memiliki makna yang lain. Yaitu, pusat lahirnya berbagai perasaan dalam diri manusia. Seperti cinta, benci, takut, marah, dan sejenisnya.
Akan tetapi, adakalanya kalbu juga dimaksudkan dengan makna akal sebagaimana tersurat dalam sebuah riwayat Imam Musa al-Kazhim yang berisi nasihat kepada Hisyam bin Al-Hakam. Dalam riwayat tersebut, Imam Musa al-Kazhim telah menafsirkan kalbu yang tertera dalam surat Qâf (ayat ke-7) sebagai akal. Sesungguhnya di dalamnya terdapat peringatan bagi mereka yang memiliki hati (akal).[6]
Adapun makna hati yang kita maksudkan dalam pembahasan ini adalah pusat untuk merasakan sesuatu yang bersifat khusus dan tidak dapat dimiliki akal ataupun panca indera. Pengetahuan yang bersumber dari hati menuntut adanya pelaksanaan. Seperti perasaan takut menuntut dilakukannya upaya untuk mencari perlindungan. Karenanya, makrifat ini berhubungan secara langsung dengan kenyataan di luar.
Berbeda dengan pengetahuan akal yang bersifat universal, problema hati bersifat parsial dan spesifik. Sebagai contoh, air dapat menghilangkan dahaga, merupakan sebuah pernyataan yang tidak membuktikan bahwa yang mengucapkan sedang dalam keadaan haus dan memerlukan air. Ini disebabkan hukum pernyataan tersebut bersumberkan pada akal.
Tetapi, pabila seseorang merasa haus, maka pada saat itu pula ia akan bergegas mencari air. Atau tentang adanya gambaran pada akal bahwa hantu itu menakutkan. Namun keberadaan gambaran pada akal tentang hantu tersebut tidakmenuntut seseorang mencari perlindungan. Tentu saja keadaan ini berbeda dengan seseorang yang merasakan adanya hantu menakutkan yang sedang mengintainya. Niscaya dalam kondisi seperti itu ia akan buru-buru mencari perlindungan.

Penghalang Makrifat

                Jelas sudah bahwa panca indera, akal, dan hati merupakan tiga sumber yang menjadikan manusia berpengetahuan. Namun, biar begitu, masing-masing dari ketiganya memiliki penghalang yang bisa menjadi batu sandungan bagi manusia dalam memperoleh pengetahuan.
Manusia akan kesulitan menentukan sesuatu yang dilihatnya dari kejauhan. Boleh jadi dalam keadaan demikian manusia akan didera keraguan dalam menentukan apakah yang terlihat di atas sebuah bukit, misalnya, adalah sebatang pohon ataukah seekor hewan. Manusia juga tidak dapat mendengar suara dengan frekuensi sangat tinggi (ultrasonik) atau sangat rendah (infrasonik). Karenanya, dapat dikatakan bahwa yang menghalangi indera manusia dari perolehan pengetahuan adalah segala sesuatu yang bersifat fisik.
Selain itu, penghalang tersebut adakalangan menyelubungi panca indera dari seluruh pengetahuan, baik itu bersifat sementara atau selama-lamanya, keseluruan atau sebagian saja. Seperti jarak yang terkadang menghalangi indera mata secara total dari sesuatu atau menyebabkan sesuatu menjadi tidak jelas (samar-samar) meskipun masih terlihat.
Dapat kita katakan bahwa penghalang pengetahuan kadangkala:
1.        Menutupi sumbernya dari seluruh atau sebagian pengetahuan, sehingga menjadikan manusia tidak mampu melihat atau paling tidak menjadi tidak pasti tentang apa yang dilihatnya.
2.        Bersifat abadi atau sementara dalam menghalangi pengetahuan. Seperti rabun mata yang dapat disembuhkan atau yang tidak dapat disembuhkan sama sekali.

Penghalang akal
                Sebagaimana indera, bagi akal dan hati juga terdapat sesuatu yang menghalangi keduanya dari pengetahuan. Cinta dan benci adalah keadaan yang membentuk fanatisme sehingga dapat menghalangi akal dari pengetahuan. Dengan mencintai seseorang atau suatu keyakinan, maka seseorang akan kesulitan melihat keburukan atau kekurangan yang ia cinta kepadanya. Sebaliknya seseorang akan kesulitan melihat kebenaran dan kebaikan dari sesuatu yang ia membencinya. Dengan mencintai atau membenci sesuatu seseorang akan kehilangan objektivitas pada akalnya dan hilanglah kemampuan untuk mengukur sebuah argumentasi.
Penghalang Hati
                Adapun hati akan kehilangan kepekaannya tatkalah ia sudah mengeras. Dalam keadaan demikian, seseorang tidak lagi mampu merasakan ketakutan terhadap sesuatu yang seharusnya ditakutinya, atau merasakan keperluan terhadap  sesuatu yang sebenarnya diperlukannya.
Apakah yang menyebabkan mengerasnya hati, yang pada gilirannya memandulkan kemampuan manusia dalam merasakan sebuah hakikat? Tak lain adalah kezaliman. Ya, kebiasaan melakukan perbuatan zalim akan menyebabkan hati mengeras.
Berkenaan dengannya, Allah Swt Berfirman: (Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu.[7]
Juga disebutkan dalam firman-Nya yang lain: Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.[8]
Demikianlah bahwa hati yang mengeras merupakan musibah besar dan penderitaan yang sebenarnya bagi manusia, sementara dirinya tidak menyadari tentang hal itu. Perbuatan jahat menjadikan hati mengeras sehingga menghilangkan kepercayaan kepada segala hal yang bersifat gaib. Dan pada akhirnya, manusia akan kehilangan pegangan tentang apa yang sebelumnya diyakini dan diimaninya.
Allah Swt berfirman: Kemudian, akibat orang-orang yang mengerjakan kejahatan adalah (azab) yang lebih buruk, mereka akan mendustakan ayat-ayat Allah dan mereka selalu memperolok-oloknya.[9]

Batasan Sumber Makrifat

                Demikianlah batas ukuran pengetahuan mereka.[10]
                Untuk lebih jelas memahami tujuan pembahasan ini, kita akan melanjutkan dengan satu pertanyaan. Yaitu, mungkinkah dengan salah satu dari tiga sumber pengetahuan kita mampu memahami seluruh jenis pengetahuan? Atau, apakah setiap sumber pengetahuan memiliki batasan tersendiri dalam menghasilkan pengetahuan?
                Jawaban pertanyaan di atas adalah bersifat nafi; bahwa setiap sumber pengetahuan tidak difungsikan untuk mendapatkan seluruh pengetahuan. Ini dikarenakan setiap pengetahuan tentang kenyataan alam semesta ini memiliki perbedaan masing-masing. Oleh karenanya, harus terdapat kesesuaian antara alat yang digunakan untuk mengetahui dengan pengetahuan yang dimaksudkan.
                Contoh yang dapat dimanfaatkan dalam pembahasan ini adalah panca indera. Diketahui bahwa setiap panca indera memiliki fungsi masing-masing di hadapan pengetahuan. Dalam hal ini, segala jenis warna tak akan pernah mampu dikenali lewat indera pendengaran. Atau berbagai macam suara tidak dapat dikenali lewat indera penglihatan atau penciuman. Karenanya, sesuatu yang tidak dapat diinderai tidak dapat dijadikan bukti bagi tiadanya sesuatu tersebut. Demikian pula dengan pengetahuan akal yang tidak dapat dikenali alat-alat indera atau hati. ,Sebaliknya pengetahuan inderawi dan hati tidak dapat dikenali lewat perantaraan akal.
                Al-Quran tidak membicarakan tentang batasan sumber pengetahuan dalam sebuah pembahasan yang terpisah dan bersifat khusus. Namun, banyak ayat yang dapat kita ambil darinya yang menjelaskan tentang batasan masing-masing sumber pengetahuan.
Misal, bagi mereka yang tidak menggunakan akal dan hati untuk mengungkap tabir makrifat, dalam pandangan al-Quran dikatakan sebagai orang yang tidak melihat kecuali hanya kepada hal-hal material atau yang terinderai dan bersifat duniawi.
Allah Swt berfirman: Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami. Dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi. Demikianlah batas ukuran pengetahuan mereka.[11]
                Allah juga berfirman tentang batasan sumber pengetahuan akal.
Dan tidakkah mereka memikirkan tentang diri mereka, Allah tidak menjadikan langit dan bumi serta  yang ada di antara keduanya kecuali dengan benar (haq)… [12]  
                Sedangkan berkenaan dengan batasan sumber makrifat hati, Allah Swt memfirmankan:
Dan di antara mereka ada yang mendengarkanmu. Apakah kamu dapat menjadikan orang yang tuli mendengar walaupun mereka tidak mengerti? Dan di antara mereka ada yang melihat kepadamu. Apakah kamu dapat memberi petunjuk kepada orang yang buta walaupun mereka tidak dapat memperhatikan?[13]  


[1]  Q.S 8:22
[2]  Biharalul Anwar J.1 Hal.164
[3]  Biharul Anwar J.1 Hal.180
[4]  Kanzul ummal 28942
[5]  Q.S 17:36
[6]  Al-Kahfi J1 Hal 16
[7] Q.S 5:13
[8]  Q.S 39:22
[9]  Q.S 30:10
[10]  An-Najm: 30
[11]  An-Najm: 29-30.
[12]  Ar-Rum: 8.
[13]  Yunus: 42-43.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar