Senin, 30 Juli 2012

qadha puasa


QADHA ATAU FIDIYAH

6 SEPTEMBER 2009
tags: 
Oleh: Prof. Dr. Muslim Ibrahim. MA
Pertanyaan:
Yth. Ustadz Pengasuh Rubrik KAI
Assalamualaikum wr.wb.
Ada hal yang masih mengganjal di hati saya; bulan Ramadhan 1429 H yang lalu, saya melahirkan, sehingga tertinggal puasa selama 25 hari. Saya sudah membayar fidyah dan sempat mengkadha 10 hari, karena saya menyusui.
Pertanyaannya; bagaimana puasa saya yang masih tertinggal tersebut? Apakah betul jika puasa tahun yang lalu tertinggal, harus kita qadha dua kali lipat? Bagaimana ukuran fidyah yang tepat menurut hukum Islam?
Demikian, atas berkenan ustadz menjawab, saya ucapkan terimakasih.
Wasalam,
Marlina Kabupaten Abdya
Jawaban
Yth Ibu Marlina,
Waalaikumussalam wr. wb.
Pertama, pengasuh meminta maaf atas agak sedikit terlambat memberikan jawaban terhadap masalah ini. Kedua, pengasuh ingin memukaddimahkan jawaban ini: Apabila kita perhatikan dengan seksama, jelaslah bahwa Islam amat memperhatikan perempuan, termasuk pada masa kehamilan, melahirkan dan menyusui.
Sudah masyhur di dalam Ilmu Kesehatan bahwa kondisi fisik seorang wanita dalam menghadapi kehamilan dan saat-saat menyusui memang berbeda-beda. Namun, pada dasarnya, kalori yang dibutuhkan untuk memberi asupan bagi sang buah hati adalah sama, yaitu sekitar 2200-2300 kalori perhari untuk ibu hamil dan 2200-2600 kalori perhari untuk ibu menyusui. Kondisi inilah yang menimbulkan konsekuensi yang berbeda bagi para ibu dalam menghadapi saat-saat puasa di bulan Ramadhan;
Ada yang merasa tidak bermasalah dengan keadaan fisik dirinya dan sang bayi sehingga dapat menjalani puasa dengan tenang; Ada pula para ibu yang memiliki kondisi fisik yang lemah yang mengkhawatirkan keadaan dirinya jika harus terus berpuasa di bulan ramadhan; Begitu pula para ibu yang memiliki buah hati yang lemah kondisi fisiknya dan masih sangat tergantung asupan makanannya dari sang ibu melalui air susu sang ibu.
Kedua kondisi terakhir, memiliki konsekuensi hukum yang berbeda bentuk pembayarannya. Bagi ibu hamil atau menyusui yang mengkhawatirkan kesehatan dirinya bila berpuasa, maka ia boleh tidak berpuasa dengan ketentuan wajib mengqadhanya di hari yang lain ketika telah sanggup berpuasa. Keadaan ini disamakan dengan orang yang sedang sakit dan mengkhawatirkan keadaan dirinya. Sebagaimana dalam ayat 184 surat al-Baqarah: “Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
Bagi ibu hamil atau menyusui yang mengkhawatirkan kesehatan diri dan anaknya bila berpuasa maka ia dapat tidak berpuasa dengan syarat ia harus mengqadhanya sebanyak hari-hari puasa yang ditinggalkan ketika sang ibu telah sanggup melaksanakannya. (An-Nawawy, Al-Majmu’, Juzu 6, halaman 177)
Bagi ibu hamil atau menyusui yang mengkhawatirkan kesehatan anaknya bila berpuasa maka dalam hal ini ulama berbeda pendapat, yang dapat diklasifikasi dalam tiga pendapat. Pertama, berpendapat mengqadha saja tanpa perlu membayar fidyah. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Bin Baz dan Syaikh As-Sa’di r.a. dengan mengqiyaskan keadaan ini dengan sakit biasa, sehingga hukumnya sesuai ayat di atas.
Kedua, berpendapat membayar fidyah saja, tanpa perlu mengqadha. Karena inilah yang disebut dengan ithaaqah dalam ayat 184 surat Al-Baqarah; dan juga penjelasan Ibnu Abbas ra “Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin” (HR. Abu Dawud). Demikian juga penjelasan Ibnu `Umar ra ketika ditanya tentang seorang wanita hamil yang mengkhawatirkan anaknya, maka beliau berkata, “Berbuka dan gantinya memberi makan satu mud gandum setiap harinya kepada seorang miskin.” (al-Baihaqi dalam Sunan dari jalan Imam Syafi’i, sanadnya shahih). Pendapat ini dipilih Syaikh Salim dan Syaikh Ali Hasan ra.
Ketiga, berpendapat mengqadha dan juga membayar fidyah. Wajib qadha karena tidak ditemukan dalil syara’ yang sharih yang dapat menggugurkan qadha. Bagi orang yang mampu mengerjakannya. Sedangkan pembayaran fidyah adalah karena para ibu dalam kondisi ini termasuk dalam keumuman ayat 184 surat al-Baqarah tersebut.
Khusus menjawab pertanyaan ibu Marlina yang puasanya masih tertinggal 10 hari lagi itu, menurut hemat pengasuh, sebab tertinggalnya itu adalah nifas karena melahirkan. Kalau memang demikian, maka ibu perlu mengqadha sejumlah puasa yang masih kurang, yaitu 10 hari lagi sebelum masuk Ramadhan ini.
Semestinya begitu, namun karena ibu menyusui, artinya tidak ada tenggang waktu sebelum Ramadhan ini, maka ibu qadha saja nanti sehabis Ramadhan. Tapi seandainya ada waktu untuk qadha sebelum Ramadhan, tapi tidak mengqadhanya, maka setelah Ramadhan nanti ibu perlu mengqadha sejumlah hari tertinggal dan juga membayar fidyahnya.
Dari uraian yang singkat ini, ibu dapat merasakan jawaban terhadap pertanyaan yang kedua, yaitu kalau berselang tahun, maka qadhanya bukan dua kali, tapi tetap satu kali. Memang bila ada kelengahan maka perlu qadha satu kali dan fidyah satu kali. Bukan dua kali qadha.
Mengenai ukuran fidyah yang tepat menurut Islam, dapat terbaca dalam ungkapan Ibnu Abbas di atas, yaitu: memberi makan seorang miskin dan dalam ungkapan Ibnu Umar ra: memberi makan satu mud gandum setiap harinya kepada seorang miskin. Ungkapan ini bila digabung dan dibahasakan dengan bahasa kita sekarang adalah memberi makan sehari penuh bagi seorang miskin untuk satu hari puasa tertinggal. Di tanah Arab pada masa itu, makanan pokok masyarakatnya adalah gandum. Sementara makanan pokok masyarakat kita adalah beras (nasi).
Dari itu ulama mutaakhkhirin berkesimpulan bahwa fidyah puasa sehari sama dengan memberi makan satu hari bagi seorang miskin. Makanan sehari, dalam bahasa uruf kita meliputi sarapan pagi, makan siang atau tengah hari dan juga makan malam. Menurut uruf sekarang dapat saja dibayar dengan beras ditambah lauk pauknya dan mungkin juga dapat dibayar dengan uang seharga makanan seorang miskin satu hari seperti tersebut di atas.
Pembayarannya dapat ibu lakukan dengan memilih 15 orang miskin dan memberikan fidyah satu hari untuk satu orang, atau boleh juga dengan memilih satu orang miskin saja, lalu menyerahkan fidyah 15 hari tertinggal itu semuanya kepadanya.
Demikian buk untuk sementara ini, namun untuk masa-masa mendatang kita berharap ada lembaga atau badan yang mengurus fidyah puasa, kaffarah sumpah dan sebagainya agar lebih berdaya guna dan berhasil guna. Misalnya oleh lembaga Baitul Mal atau apapun namanya. Untuk memperdalam masalah ini, diharapkan dapat meruju’ kepada antara lain: An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab; Ibnu Quddamah, Al-Mugny; Asy-Syaikh Mushthafa Al-Khin, Al-Fiqhil Manhaji ‘alal Madzhabisy Syafi’ie; dan lain lain. Demikian, Wallahu a’lamu bishshawaab.
Sumber: Serambinews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar